

Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) menyetujui 7 permohonan penghentian penuntutan perkara Orang dan Harta Benda (Orharda) berdasarkan mekanisme restorative justice (keadilan restoratif) pada Kamis, 16 Januari 2025.
Selain kasus pidana umum, Kejati Jatim juga menyetujui permohonan restorative justice untuk perkara penyalahgunaan Narkoba.
Persetujuan tersebut diberikan Kepala Kejati Jatim (Kajati), Dr. Mia Amiati, S.H., M.H., CMA, CSSL saat memimpin publik ekspose virtual yang dihadiri Wakajati, Aspidum, Koordinator dan para Kasi pada Bidang Pidum Kejati Jatim.
Hadir para kegiatan tersebut Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Surabaya, Kajari Tanjungperak, Kajari Jombang, Kajari Lamongan, Kajari Nganjuk dan Kajari Ngawi.
Ketujuh perkara Orharda yang permohonannya disetujui Kajati Jatim adalah:
• 1 perkara Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan yang memenuhi ketentuan Pasal 363 AYAT (1) KUHP yang diajukan oleh Kejari Nganjuk
• 3 perkara Tindak Pidana Penganiayan yang memenuhi ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP yang diajukan oleh Kejari Tanjung Perak (2 perkara) dan Kejari Jombang;
• 2 perkara Tindak Pidana Penipuan yang memenuhi ketentuan Pasal pasal 378 KUHP atau 372 KUHP yang diajukan oleh Kejari Surabaya dan Kejari Tanjung Perak;
• 1 perkara Laka Lantas yang memenuhi ketentuan Pasal 310 ayat (1) Undang-undang RI No. 22 Tahun 2009 (Lalu lintas dan Angkutan Jalan) yang diajukan oleh Kejari Lamongan;
Sementara satu perkara penyalahgunaan Narkoba yang penuntutannya dihentikan melalui restorative justice adalah kasus yang memenuhi ketentuan Pasal 111 ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Atau Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Tindak Pidana Narkotika) yang diajukan oleh Kejari Ngawi.
Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif menjadi bukti bahwa negara melalui penegak hukumnya hadir memberikan humanisme dalam penegakan hukum dalam rangka menciptakan rasa keadilan.
Melalui kebijakan restorative justice, diharapkan tidak ada lagi masyarakat bawah yang tercederai oleh rasa ketidakadilan. Namun keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi kesalahan serupa.
Dengan kebijakan tersebut, permohonan pengajuan Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif tersebut harus memenuhi syarat sebagaimana diatur di dalam Perja No 15 Tahun 2020, yaitu : Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya tidak lebih dari 5 tahun penjara;
Telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka dan hak korban terlah dipulihkan kembali serta masyarakat merespons positif dan khusus untuk Perkara Penyalahgunaan Narkotika, penghentian penuntutan harus mempertimbangkan bahwa tersangka hanya sebagai penyalahguna narkoba untuk dirinya sendiri (end-user); tersangka tidak berperan sebagai produsen, bandar, pengedar dan kurir terkait jaringan gelap narkotika.
Perkara penggelapan sepeda motor oleh marbot Masjid karena terdesak kebutuhan melunasi utang.
Baca SelengkapnyaPerkara yang disetujui permohonan restorative justice terkait pencurian dan penggelapan
Baca SelengkapnyaMelalui kebijakan restorative justice, diharapkan tidak ada lagi masyarakat bawah yang tercederai oleh rasa ketidakadilan.
Baca SelengkapnyaInovasi ini diyakini bisa meningkatkan PNBP dan mencegah korupsi
Baca SelengkapnyaSalah satu perkara yang disetujui adalah kasus penamparan terhadap anak yang menyebabkan luka
Baca SelengkapnyaBerdasarkan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara dengan nilai sebesar Rp11.760.000.000.
Baca SelengkapnyaPermohonan penghentian penuntutan perkara melalui restorative justice diajukan oleh 3 Kejari
Baca SelengkapnyaJaksa melakukan penahanan selama 20 hari ke depan sejak Selasa 21 Januari 2025 dan tersangkan dititipkan di Rutan Dobo.
Baca SelengkapnyaAdapun untuk perkara lainnya adalah penggelapan, penadahan dan penganiayaan.
Baca SelengkapnyaPemeriksaan terhadap saksi berlangsung selama 10 jam
Baca SelengkapnyaKejati Bengkulu berkomitmen penuh menjadikan WBK dan WBBM sebagai wujud nyata dari transparansi, akuntabilitas, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Baca SelengkapnyaKajati NTT juga mengharapkan Balai PPW NTT segera mengambil langkah-langkah nyata dalam menangani kerusakan yang ada
Baca SelengkapnyaPara Kajari diminta untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif
Baca SelengkapnyaSalah satu perkara yang disetujui terkait dengan penyalahgunaan Narkoba
Baca SelengkapnyaPenggeledahan dilakukan di dua kediaman Kadisnaker dan ruang kerjanya
Baca SelengkapnyaTersangka MSZ sempat mengajukan pra-peradilan ke PN Kota Mataram dan ditolak hakim
Baca SelengkapnyaTiga tersangka merupakan ASN dan salah satunya menjabat sebagai kepala dinas.
Baca SelengkapnyaTotal uang yang diselamatan Kejari Palembang dari kegiatan OTT dan penggeledahan mencapai Rp285,6 juta
Baca SelengkapnyaKejati Lahat juga menerima pengembalian keuangan negara senilai Rp50,52 juta
Baca SelengkapnyaMelalui kebijakan restorative justice, diharapkan tidak ada lagi masyarakat bawah yang tercederai oleh rasa ketidakadilan.
Baca SelengkapnyaBegini modus operandi yang dilakukan kedua tersangka.
Baca SelengkapnyaKejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia memanfaatkan apel perdana tahun 2025 untuk mengevaluasi kinerja 2024 dan merencanakan program lebih baik di tahun ini
Baca SelengkapnyaPerkara ini mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp1.375.356.769.
Baca SelengkapnyaData jumlah rumah keadilan restoratif atau Rumah RJ yang telah berdiri hingga Desember 2024 sebanyak 4.654
Baca SelengkapnyaSebelumnya penyidikan menemukan dua alat bukti dan barang bukti dugaan korupsi dana PNPM tahun 2019-2023.
Baca SelengkapnyaInstall Story Kejaksaan
story.kejaksaan.go.id